“Ah… Kehidupan. Huufftt…….!!”
Semburan asap rokok Anchu’ yang meluncur
dari sudut kiri bibirnya yang ditarik sedemikian rupa, mengakhiri cerita
tentang pengalamannya selama di kampung. Tatapannya seketika kosong menembus
keluar—menerobos bingkai jendela. Seperti mencari kedamaian di antara
rerimbunan daun mangga yang tumbuh di halaman rumah yang kami kontrak.
“Lalu apa rencanamu Chu’..?”
Aku mencoba membuka dialog setelah
beberapa saat kami larut dalam keheningan. Namun tak sepatah katapun terucap
dari bibir Anchu’ untuk menjawab pertanyaanku, meskipun yakin sebenarnya dia
mendengar pertanyaan yang baru saja kulesatkan padanya. Aku tahu bahwa saat ini
Anchu’ sedang dirundung bingung, kemana harus menenangkan hati yang tengah
gusar. Kubiarkan saja ia tenggelam dalam cenungnya yang tak kunjung menepi.
Hanya kedipan demi kedipan yang kudapati di matanya. Hingga denting mangkuk mas
Dikin yang kebetulan lewat menjajakan bakso dagangannya di kompleks kami,
seketika membuyarkan lamunan Anchu’.
“Bang…! Kamu tinggal di Luwuk Banggai
kan…?”
Tiba-tiba Anchu’ menoleh padaku dengan
pertanyaan yang kurasa sedikit membingungkan. Karena seingatku, sejak pertama
kali aku berkenalan—nama dan asal daerahlah yang langsung kuperkenalkan
padanya. Dan bukan sekali dua kali kusebut Luwuk Banggai sebagai asal
daerahku—sejak kami mulai bersahabat dalam dua tahun terakhir. Dan kini ia
menanyakan sesuatu yang aku yakin tanpa kujawabpun Anchu’ tahu jawabannya. Tapi
kali ini, seperti ada sesuatu yang tengah direncanakan oleh sahabatku ini.
“Seperti apa di sana bang?
Ceritakanlah padaku! Kamu kan belum pernah menceritakan tentang Negerimu.
Tentang kampung halamanmu. Aku sangat suka dengan cerita yang melukiskan
suasana pedesaan. Ayolah Kumbang! Ceritakanlah..!!”
Anchu’ terus mendesak agar suasana di Luwuk
Banggai diceritakan padanya. Meskipun sebenarnya aku bingung, dari mana harus
memulai ceritaku untuk sahabat yang tengah dirundung galau ini.
Aku tahu selama ini belum bisa
membalas kebaikan Anchu’ yang telah banyak membantu. Mulai dari menyelesaikan
tugas kuliahku yang tak sempat kukerjakan karena sakit, menanggung sendiri
biaya kontrakan rumah yang seharusnya kami tanggung berdua—saat dompetku belum
bisa diajak berdamai, sampai pada preman lorong yang dihajarnya karena mencoba
memerasku di suatu malam ketika hendak ke warnet.
Namun jika dengan menceritakan suasana
desa tempatku menghabiskan masa kecil, dapat menguruk kegalauan yang menggunung
dalam hatinya—maka sekalipun aku bukan satu dari puluhan pendongeng hebat, aku akan
mengisahkan tanah kelahiranku untuk sahabat terhebatku ini.
“Tak ada yang istimewa di kampungku
Chu’…! Kecuali hanya sebuah desa kecil yang terpencil, namun tak sedikit
menggoreskan tawa di masa kecilku.
Tidak jauh berbeda dengan kampungmu, yang
selalu menyemai rindu di hati ketika kau berada di kota Angin Mammiri ini—dalam waktu yang cukup lama tidak pulang ke
kampung”.
“Tapi bukankah kau pernah bilang, Desaku Adalah Surgaku? Aku ingin kau
melukis surgamu di telingaku bang…!”
Anchu’ tiba-tiba menukasku seakan
takut jika tak kulanjutkan ceritaku itu. Tanpa ia sadari, sekalipun ia tak
menyela—aku akan tetap berkisah untuknya.
“Ya, itu benar Chu’. Desaku adalah
surgaku”.
Aku mencoba beranjak dari kursi
setelah menjawab singkat ucapan Anchu’. Tulang belakangku sudah terasa kaku duduk
di kursi tanpa sandaran itu—sejak hujan mulai mengguyur bumi Makassar satu jam
yang lalu. Sampai ketika Anchu’ yang tiba-tiba berdiri dibelakangku tanpa
kusadari, dengan membawa sebait cerita keresahan untukku—sebagai buah tangan
karena baru saja tiba setelah dua hari lalu pulang ke kampungnya di Bone. Dan
akhirnya aku menjadi pendengar setia tentang keresahan pada teman masa kecilnya
yang kini sibuk dengan menggeluti bisnis MLM—hingga Anchu’ merasa ada yang
hilang ketika berada di kampung beberapa hari lalu. Ia tak menemukan lagi
cerita bersambung yang selalu menyambut kedatangannya.
Perlahan aku memilin pinggang, meregangkan
otot-otot yang mulai terasa pegal—diiringi gemertak tulang serupa reranting
kering yang terinjak.
Aku melangkah mendekati pintu, lalu
melepaskan pandangan ke halaman rumah yang masih sebak oleh guyuran hujan yang
baru saja berlalu. Dedaunan kembang sepatu yang tumbuh di sudut halaman masih
menyisakan bulir-bulir bening yang seakan enggan jatuh ke tanah. Tak ada
sesiapa yang kujumpai melintas di kompleks kami meski hujan telah reda beberapa
menit yang lalu. Kecuali mas Dikin bersama dentingan mangkuknya yang tadi
berhasil membuyarkan lamunan Anchu’ ketika tercenung.
Suasana lengang seperti inilah yang
selalu aku tunggu ketika ingin mengeluarkan rangkaian aksara berupa kata
penyusun cerita yang membuncah ingin keluar dari kerongkongan. Sekejap kutengok
Anchu’ di belakangku. Seakan tak sabar ingin mendengar cerita tentang negeri
berair, Luwuk Banggai.
“Bukit Jaya. Itulah nama desaku chu’.
Tempat aku mengenal arti sebuah kebahagiaan di masa kecil. Sebuah desa terpencil
yang akan menyita waktu sekira dua jam dari kota Luwuk bila kau menempuhnya
dengan kendaraan beroda empat.
Sepanjang perjalanan dari Luwuk,
pandanganmu akan ditawan oleh pesisir pantai yang menjadi sajian pembuka dalam
perjalananmu menuju dataran Toili. Salah satu kecamatan yang kini sedang
berkembang di kabupaten Banggai bagian darat.
Saat memasuki dataran Toili, keindahan pesisir
pantai akan bertukar dengan hijaunya perbukitan, sawah yang menghampar,
sungai-sungai yang berkelok, yang seakan sayang jika tak dilahap mata walau
hanya sekedar untuk mengedip. Dan kau akan merasa perjalanan begitu singkat
ketika sampai di desa Bukit Jaya. Sebuah desa dengan rumah tinggal milik
penduduk yang tertata rapi di antara perbukitan yang dikelilingi sungai.
Aku tidak bilang bahwa Bukit Jaya
adalah desa terindah di antara puluhan desa yang ada di kecamatan Toili. Tapi
seperti katamu chu’…
Cerita bersambung yang selalu
menghujam batinku dengan kerinduan, seakan tiada henti memanggilku pulang untuk
melanjutkan kembali cerita yang belum selesai. Dan aku yakin, tak sekalipun kau
tahu chu’… bahwa tak jarang aku berkelahi dengan rindu. Terlebih ketika langit
digelayuti mendung lalu hujan perlahan turun seperti yang baru saja berlalu,
membuatku serasa menonton sebuah film pada satu titik dimana pandanganku
terhenti tanpa berkedip.
Di sana aku melihat dua orang pemeran
utama yang terus bertahan di tengah dinginnya guyuran hujan—dengan joran
pancing tergenggam di tangan yang mulai menggigil, seraya menunggu ikan
menyambar umpan dari tepian sungai.
Hmm… itu tidak lain adalah aku dan
seorang sahabat yang selalu memanggilku pergi memancing bernama Oni.
Kami berdua sering menghabiskan waktu
di tengah guyuran hujan dengan memancing. Karena cuaca hujan adalah saat yang
tepat untuk berburu ikan lele di kampung kami.
Tak peduli sepulang dari sana,
hidungku terasa berat walau hanya sekedar untuk menarik nafas karena tersumbat.
Kau tahu…? Memancing di sungai adalah satu
dari sekian banyak cara kami menciptakan surga kecil. Dan itu telah menjadi
kebiasaan sejak seragam putih merah menjadi seragam kebanggan kami—sampai
akhirnya aku memutuskan meninggalkan Bukit Jaya, merantau ke sini untuk sebuah toga.
Berbeda dengan sahabatku si pembenci
hujan bernama Anjeloti. Ia akan menghabiskan waktunya dengan mendengkur di
balik selimut tebalnya ketika hujan mengguyur Bukit Jaya. Sekalipun tak jarang
aku dan Oni mengajaknya berburu lele—yang acap kali tak diindahkannya.
Namun ketika cuaca di langit Bukit
Jaya sedang terik, maka orang pertama yang menggedor pintu rumahku saat mentari
setinggi galah adalah Anjeloti. Ia selalu mengajakku berburu tawes ketika cuaca
sedang cerah.
Desaku memang dikenal dengan sungainya
yang menjadi surga bagi ikan jenis tawes ini.
Sungai Bukit Jaya tak pernah kehabisan
tawesnya meski diburu setiap hari. Dan aku, Oni serta Anjeloti adalah tiga dari
puluhan pemuda kampung yang tak gentar dengan dalamnya sungai Bukit Jaya.
Bahkan pun ketika dasar sungai yang
tak terlihat karena dalamnya, sedikitpun tak ada ragu untuk kami selami jika
segerombolan tawes sedang terlihat bermain di sana.
Dengan berbekal panah tradisional yang
kami buat dari potongan kawat beronjong sepanjang dua hasta, lalu dipasang
karet sebagai pemicu di salah satu ujungnya—dan pada ujung lainnya ditempa
hingga pipih, kemudian diasah agar runcing dan membentuk mata panah, maka kami telah
menjadi pemburu yang menakutkan bagi kawanan tawes penghuni sungai Bukit Jaya.
Kami warga Bukit Jaya menyebut panah
tradisional itu dengan sebutan paser.
Selain itu, sepasang kaca mata renang
menjadi hal penting yang tak boleh dilewatkan ketika hendak berburu jenis ikan
yang cukup populer di Bangladesh ini. Karena kami akan berenang mengejarnya
hingga ke dasar sungai, lalu melesatkan mata panah ke arah kawanan tawes—dengan
sisa-sisa udara dalam paru-paru yang kami tampung sebanyak mungkin sebelum
mencelupkan diri ke dalam sungai.
Dan saat itu kau akan merasakan sebuah
sensasi yang luar biasa ketika kau mulai kehabisan udara, sementara paser yang baru saja kau lesatkan
mengenai salah satu tawes buruanmu—dan ia mulai meronta berusaha membebaskan
diri dari pasermu yang telah menembus
sisik hingga dagingnya. Disaat itulah kau akan dihadapkan dengan dua pilihan.
Membiarkan tawesmu terlepas dari paser atau segera naik kepermukaan agar nyawa
tidak terlepas dari jasadmu yang mulai kehabisan udara di dalam air. Ya, kami
bermain dengan maut. Bisa dikatakan begitu.
Dalam hal ini, aku dan Anjeloti tak
sedikitpun meragukan keahlian Oni—membidik sasaran dalam gerombolan tawes yang
berenang ketakutan karena merasa terancam dengan kehadiran kami. Ia memang ahli
dalam hal memanah di dalam air. Mungkin ada hubungan dengan kelahirannya dihari
kamis, yang menurut tetanggaku dia memang cocok atas segala hal yang
berhubungan dengan air. Entahlah. Aku pun tak begitu yakin dengan pernyataan
tetanggaku itu. Karena yang kami lakukan sebenarnya bukan semata berburu tawes,
akan tetapi kami sedang menuliskan sebuah cerita bersambung di sungai Bukit
Jaya.
Begitu banyak cerita yang belum
selesai di sana. Sehingga ketika kami mulai menghabiskan waktu di sungai saat
cuaca sedang bersahabat, tak jarang Anjeloti melakukan kekonyolan-kekonyolan
yang mengingatkan pada masa-masa ketika kami masih duduk di bangku sekolah
dasar dulu. Menghanyutkan pakaian adalah salah satunya.
Saat kami bertiga tengah berenang
mencari persembunyian tawes, secara diam-diam ia naik ke darat meninggalkan aku
dan Oni yang sedang menyelam—lalu diambilnya pakaianku dan milik Oni yang tergeletak
di tepi sungai, kemudian dihanyutkannya pada aliran yang deras. Setelah itu ia
lalu berteriak dengan kencangnya, “Kumbang….!! Oni…!! Celanamu hanyut…!!” sembari menunjuk pada
pakaian kami yang sengaja ia larung.
Teriakan Anjeloti seakan menjadi sebuah
aba-aba pada kami berdua untuk melakukan lomba renang. Aku dan Oni pun seketika
itu langsung berenang mengejar pakaian kami yang semakin jauh terbawa arus.
Kami berdua tak ubahnya sang juara
bertahan di cabang Olahraga renang—yang tengah mempertahankan gelarnya
masing-masing.
Dan aku melihat Anjeloti tak lebih
dari seorang wasit yang tak kuasa menahan gelak tawanya di tepian sungai,
menyaksikan kepanikan kami yang tak ingin pulang tanpa pakaian. Ini benar-benar
konyol bagiku.
Karena hal serupa, pernah Anjeloti lakukan
ketika kami masih duduk di bangku kelas enam. Saat itu aku terpaksa pulang
tanpa pakaian karena tak berhasil menemukan pakaianku yang tenggelam ke dasar
sungai.
Tapi itulah Anjeloti, sahabatku yang
paling bisa membawa kami ke masa silam. Ia seperti mesin waktu.
Tidak jauh berbeda dengan sahabatku si
pemburu tekukur. Albim.
Seorang sahabat yang hanya bisa
kujumpai di rumahnya ketika malam. Hari-harinya ia habiskan di tengah
perkebunan kelapa sawit yang tak lain untuk berburu tekukur. Albim adalah
sahabatku yang dikenal sebagai pemuda kampung pecinta burung. Khususnya burung
jenis tekukur yang populasinya cukup banyak di kampungku. Tak usah heran jika
suatu saat kerumahnya, kedatanganmu akan disambut oleh suara merdu para tekukur
yang bersahutan. Dan di sudut kiri beranda, akan kau dapati sebuah sangkar
menggantung berisi sepasang tekukur yang tidak akan berhenti berkicau ketika
ada orang yang datang. Itu adalah tekukur kesayangan Albim. Ia menemukannya
jatuh dari sarang saat sepasang tekukur itu masih kecil, sewaktu Albim pulang
sekolah.
Ketika itu Albim masih duduk di bangku
kelas enam sekolah dasar. Ia pun membawanya pulang, dipelihara dan dirawatnya
hingga sekarang.
Sudah beberapa kali ada yang datang
berniat untuk membeli dengan harga yang tak wajar untuk sepasang burung tekukur
menurutku. Tapi Albim tak sedikitpun pernah tergiur dengan tawaran harga yang
kupastikan sebanding dengan harga sebuah laptop. Lagi-lagi ini adalah konyol
bagiku. Dan kau tahu satu hal yang lebih konyol dari itu chu’…? Albim memberi
nama pada tekukur kesayangannya itu. Yang jantan diberinya nama persis dengan
namaku, Kumbang. Dan betinanya Vio.
Tak ada yang tahu rahasia di balik
kedua nama itu kecuali aku, Oni, Anjeloti dan Albim. Tapi kali ini kau akan
tahu.
Sepasang tekukur itu adalah
satu-satunya cara Albim untuk mereinkarnasi cerita bersambung tentang kisahku.
Albim tak ingin cerita tentang Kumbang si ketua kelas enam di SDN 4 Inpres—yang
terpesona pada kecantikan Vio, berakhir dengan kata bersambung namun tak ada
kelanjutannya lagi.
Vio adalah gadis yang kukenal dengan
sepatu mengeluarkan cahaya merah berkelap-kelip di bagian tumitnya ketika
berjalan. Ia adalah satu-satunya murid di sekolah kami yang memakai sepatu
sebagus itu. Karena menurut kami sebagai bocah kampung, hanya orang-orang
berduit yang akan membelikan sepatu mewah untuk anaknya sekolah.
Vio pindah ke sekolah kami ketika ia
naik ke kelas lima. Vio pindahan dari kota dan tinggal di Bukit Jaya bersama
ibunya yang telah bercerai. Namun setahun kemudian nasib malang menimpa. Tepat
di hari penerimaan rapor, ibunya meninggal dunia.
Vio terpaksa kembali ke kota setelah
dijemput ayahnya, untuk melanjutkan sekolah yang tersisa setahun lagi untuk
bisa lanjut ke jenjang berikutnya. Karena di Bukit Jaya, Vio tak memiliki
siapa-siapa selain ibunya yang dikenal sebagai wanita pekerja keras—dan pagi
itu telah pergi meninggalkannya.
Banyak hal yang aku ketahui tentang Vio.
Karena aku adalah satu-satunya siswa SDN 4 inpres yang begitu dekat dengannya.
Ia bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Hanya orang-orang beruntung yang bisa
dekat dengannya. Dan salah satu orang beruntung itu adalah aku, Kumbang.
Sehingga aku merasa bahwa akulah orang
paling bahagia di dunia ketika itu—karena bisa menghabiskan hari-hariku di
sekolah bersama gadis yang begitu kukagumi.
Ketika berada di sekolah, kami tak
pernah terpisah. Di mana ada aku maka di situ kau akan melihat Vio bersamaku. Aku
pun tak tahu apa yang istimewa dalam diriku sehingga Vio lebih memilihku
dibanding yang lain untuk dijadikan teman dekatnya. Aku tak mau tahu itu,
Karena yang aku tahu adalah aku bahagia saat Vio berada di sampingku. Hingga
Oni, Anjeloti dan Albim menjuluki kami berdua sebagai ratu dan pangeran tanpa
kerajaan.
Namun sayang, kebahagiaan itu terasa
begitu singkat ketika Vio harus kembali ke kota dan meninggalkan Bukit Jaya pada suatu sore.
Masih dapat kurasakan lembut jemarinya
ketika ia menjabatku hendak berpamitan dan lalu berucap: “Kumbang…! Kalau lulus
nanti, kamu lanjut di SMP Luwuk ya! Vio tunggu”.
Dan itu terakhir kali aku melihat dan
mendengar suara Vio, gadis berlesung pipit yang telah memberiku kebahagiaan
singkat.
Langit sore itu serasa bagai runtuh
dan meremukkan tulang-tulangku ketika mobil yang membawanya perlahan hilang
dari pandangan. Kedua kaki seperti tak kuasa menopang tubuhku yang nampak utuh
dari luar, namun di dalamnya telah remuk tak berbentuk diluluh lantakkan oleh
rasa kehilangan.
Vio adalah sebuah cerita bersambung
yang direinkarnasi dalam sepasang tekukur milik Albim. Karena sejak perpisahan
sore itu, hingga detik ini aku sama sekali tak pernah tahu bagaimana kabar Vio.
Bahkan aku pun tak tahu dimana rimbanya kini. Gadis sepatu berlampu yang begitu
kukagumi.
Aku tak menyalahkan kedua orang tua
yang tak menyekolahkanku di kota, meski pernah kumemohon. Karena aku pun memahami
keadaan kami di desa, yang hanya bergantung pada sejengkal tanah teroka untuk
sekedar bertahan hidup.
Alasan itu pula yang membuat Albim tak
melanjutkan sekolahnya setelah kami lulus dari SDN 4 inpres.
Sementara Oni dan Anjeloti melanjutkan
sekolahnya pada Pondok Pesantren di desa seberang, yang menerima santri dari
keluarga yang tergolong kurang mampu seperti kami.
Karena yang aku tahu mereka berdua
begitu mengagumi sosok seorang Da’i yang namanya begitu hangat diperbincangkan
hingga ke pelosok desa ketika itu. Penceramah yang dikenal dengan julukan Da’i sejuta
umat, K.H Zainuddin MZ. Ya, Oni dan Anjeloti bercita-cita menjadi seorang
penceramah kondang.
Dan aku sendiri melanjutkan sekolah di
SMP terbuka pada salah satu desa yang berjiran dengan Bukit Jaya. Desa yang
berjarak sekira tiga puluh menit berjalan kaki dari gubuk reot tempatku tinggal
bersama kedua orang tua.
Meski demikian persahabatan kami tidak terusik
sedikitpun oleh perbedaan itu. Justru semakin bertambah erat. Ditambah lagi
sejak kedatangan Malda dan Nalda di Bukit Jaya, si gadis kembar yang gemar
berpetualang.
Kelak akan kuceritakan padamu chu.
Tentang gadis kembar sahabat baru kami ini, yang lebih memilih tinggal di Bukit
Jaya dibanding pulau Salakan yang menjanjikan kesejahteraan dengan rumput
lautnya”.
Aku menghentikan ceritaku sejenak.
Seketika ingatanku tertawan oleh selembar foto yang pernah kuabadikan sehari
sebelum aku meninggalkan Bukit Jaya untuk mengembara ke kota daeng.
Foto yang masih tersimpan rapi di
dompetku—yang sesekali kupandangi ketika hati tak kuasa melawan amukan rindu
akan kampung halaman. Perlahan kukeluarkan foto itu dari dompet lusuhku lalu
kuperlihatkan pada Anchu’yang sejak tadi hanya membisu menyimak ceritaku. Entah
apa yang ada dalam pikirannya kini. Namun dari sorot matanya aku menemukan
selaksa tanda yang menyiratkan sebuah rasa penasaran. Ditatapnya foto itu
tajam.
“Ini kampungmu bang?”
Pertanyaan yang kemudian ia lontarkan
tanpa peduli pada tatapannya yang terus tertawan oleh pemandangan yang ada
dalam foto ukuran dompet itu.
“iya chu, itu kampungku. Dan lelaki
yang ada dalam foto itu, adikku. Hanya foto itu satu-satunya pengobat pilu
ketika hati tak bisa kuajak berdamai karena rindu akan kampung.
Foto itu aku abadikan pada hari
terakhir di Bukit Jaya sebelum ke sini. Dan yang ada dalam foto itu adalah
salah satu dari sekian banyak tempatku membuat cerita bersambung bersama
sahabat-sahabatku.
Sungai itulah tempat kami bermain
menghabiskan waktu sepulang sekolah—ketika kami masih berseragam putih merah
dulu.
Serasa masih hangat dalam ingatan
ketika kami saling berkejaran di balik teduhnya pohon cemara yang terus
berbisik diterpa semilir, bergemul dengan lembutnya pasir yang menghampar
hingga ke hulu, memecah sunyi tepian sungai dengan gelak tawa ketika salah satu
dari kami menjadi korban kejahilan Anjeloti, membuat perlombaan menyelam dengan
mengambil batu seukuran mangkuk di dasar sungai yang membiru—yang kami lempar
dari tepian, hingga melompat ke dalam sungai—dari jembatan yang tingginya
melebihi satu pohon kelapa. Dan hari akan terasa begitu singkat ketika kemuning
senja yang merias wajah langit Bukit Jaya memanggil kami untuk pulang. Karena
mentari telah sembunyikan terangnya di balik bukit, pertanda bahwa ia akan
segera kembali pada peraduannya. Hari akan berganti dengan malam, dan kami
bocah-bocah dekil pelarung nestapa harus pulang.
Kini semua itu telah menjadi sebuah
cerita usang yang terabadikan pada lembaran kisah silam yang kurindukan. Sebuah
cerita yang di dalamnya Hanya ada aku, mereka, dan sebuah kebahagiaan. Dan
kuharap kau akan paham akan arti sebuah jembatan.
Ya, kau bisa lihat sebuah jembatan di
foto itu.
Yang akhirnya mengajarkanku, bahwa setiap
kebahagiaan yang kau imipikan—maka butuh jembatan untuk mendapatkannya.
Jembatan itu, yang juga telah menjadi
saksi bisu tentang kekejaman seorang perempuan dari seberang kepada seorang
pemuda yang dituduh bersandiwara dalam sebuah drama—saat terkapar tak berdaya
karena sebuah pengorbanan kecil untuk gadis yang diagungkannya. Dan kau tahu
siapa pemuda itu chu’.
Kelak saat kita sudah tidak bersama lagi dan
aku belum sempat menceritakannya padamu, semoga kau menemukan jejak penaku yang
menggurat pada lembaran lusuh nan berdebu—atau mungkin pada buku yang berjudul sepilu merindu. Karena aku menulisnya.
Dan aku berharap kau tidak menghujamku dengan tanya yang berpaut, yang berinang
pada mengapa.., ataupun siapa. Kau tahu jawabannya chu’. Karena
itu aku. Ya, itu aku. Ah…kehidupan.
Sebentar lagi magrib chu’…! sebaiknya
kita mandi lalu ke masjid. Aku rasa ceritaku sudah terlalu panjang. Dan Bukit
Jaya bukan negeri istimewa kawan..!!”
Sembari tersenyum, aku pun berlalu
setelah menyambar handuk yang menggantung di bingkai jendela. Tak kuacuhkan
Anchu’ yang semakin tak kuasa membebaskan tatapannya dari belenggu secarik foto
usang di tangannya. Hanya tercenung… larut… dan… SEKIAN.
=========================================================================