Coretan Lusuh: "Luka Yang Tak Berdarah"
Unknown
|
Rabu, 23 Maret 2016
|
0 Cuap-Cuap
Di suatu Sore dimana langit sedang cerahnya. Saya pun duduk bersendiri
pada balai bambu yang sudah sedikit reot di samping rumah. Jemariku
sibuk memainkan pena yang terselip di antara telunjuk dan jempol.
Pandanganku pun hilir mudik mengikuti bocah-bocah dekil dan sedikit
tengil yang sedang berlarian bermain di halaman--dengan pekik tawa saat
berebutan bola. Entah apa lagi yang harus saya tulis dalam kertas kosong
bergaris, untuk melengkapi coretan-coretan usang tentang kisah silam
yang mulai memudar dalam ingatan. Bahkan secangkir kopi hitam yang baru
sekali saya seruput, perlahan menjadi santapan nikmat bagi koloni semut
yang enggan kuajak bersahabat. Dan ketika kemuning senja di ufuk barat,
dengan anggun mengiringi langkah bocah-bocah yang mulai beranjak pulang,
tiba-tiba pandanganku terhenti pada sebuah lembaran putih lusuh dan
kotor bekas terinjak--tergeletak begitu saja di halaman rumah tempat
bermain bola para bocah setiap sore. Saya bergegas menghampiri kertas
yang terlipat-lipat itu dan mengebaskannya untuk menghilangkan
bulir-bulir pasir yang melekat. Sembari membuka lipatannya perlahan,
saya pun melangkah pelan menuju balai bambu untuk kemudian mencari tahu
apa yang tertulis di dalamnya.
Ah... ternyata hanya sebuah raungan jiwa dalam sebuah guratan.
Saya pun duduk dan mulai membacanya lirih--ditemani lembayung senja yang mulai membisu dan belaian semilir yang berbisik ketika menelisik celah-celah dedaunan akasia...
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
**Luka Yang Tak Berdarah**
Bilakah mampu kutanduskan pelupuk?
Mengeringkan telaga nestapa yang tlah menggenang~ Dan kubendung di balik diam yang terkulum
Jika cakra lidahmu yang menikam,
Telah meninggalkan sayatan menganga~
Yang tak akan teruruk badai pasir gurun sahara~ Ataupun mengering di terik sang surya.
Tapi kan kubiarkan itu, menjadi ukiran pada wajah sukma~
Lalu menjelma prasasti tentang sebuah prahara lembaran silam~
Pada riwayat seorang pengembara..
Yang pernah mencoba mengulum tawa dalam pembaringannya~ Di antara nafas-nafas yang menghembuskan aroma kesakitan.
Terkapar tanpa daya karena sebuah pengorbanan kecil yang hina pada sepasang mata~
Demi bertahta di singgasanamu, wahai merak kayangan...!!
Namun apa kata hendak kujawabkan,
Ketika aku kian terkulai~ Lalu roboh di pembaringan panjang
Seketika kau hantarkan selarik ucap tuk sambangi kaparanku~
Kau katakan bahwa aku tengah bersandiwara~
Bahwa aku memainkan sebuah drama--yang tak semestinya ada pada jiwa yang dewasa.
Serendah itukah aku di matamu, wahai merak kayangan?
Dan kini kau terus agungkan dirimu~ Seakan itu bukan satu dosa yang harus kusesalkan.
Hingga akupun acap berkelahi dengan akalku~ Coba membenarkan bahwa kau mungkin tak bersungguh-sungguh melukaiku~
Meski selalu kuturut semilir ke ufuk sunyi nan senyap
Lalu meraungkan pekik tangis dari palung telaga nestapa
Tanpa air mata~ Dan tanpa Suara~
Agar tak ada sesiapa melihat~ pun mendengar jeritan itu. Termasuk kau.
Dan biarlah ini menjadi risalah Tentang sebuah rahasia~
Antara aku sang pengembara~
Dan luka yang tak berdarah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis Oleh: Panglima Kumbang
Ah... ternyata hanya sebuah raungan jiwa dalam sebuah guratan.
Saya pun duduk dan mulai membacanya lirih--ditemani lembayung senja yang mulai membisu dan belaian semilir yang berbisik ketika menelisik celah-celah dedaunan akasia...
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
**Luka Yang Tak Berdarah**
Bilakah mampu kutanduskan pelupuk?
Mengeringkan telaga nestapa yang tlah menggenang~ Dan kubendung di balik diam yang terkulum
Jika cakra lidahmu yang menikam,
Telah meninggalkan sayatan menganga~
Yang tak akan teruruk badai pasir gurun sahara~ Ataupun mengering di terik sang surya.
Tapi kan kubiarkan itu, menjadi ukiran pada wajah sukma~
Lalu menjelma prasasti tentang sebuah prahara lembaran silam~
Pada riwayat seorang pengembara..
Yang pernah mencoba mengulum tawa dalam pembaringannya~ Di antara nafas-nafas yang menghembuskan aroma kesakitan.
Terkapar tanpa daya karena sebuah pengorbanan kecil yang hina pada sepasang mata~
Demi bertahta di singgasanamu, wahai merak kayangan...!!
Namun apa kata hendak kujawabkan,
Ketika aku kian terkulai~ Lalu roboh di pembaringan panjang
Seketika kau hantarkan selarik ucap tuk sambangi kaparanku~
Kau katakan bahwa aku tengah bersandiwara~
Bahwa aku memainkan sebuah drama--yang tak semestinya ada pada jiwa yang dewasa.
Serendah itukah aku di matamu, wahai merak kayangan?
Dan kini kau terus agungkan dirimu~ Seakan itu bukan satu dosa yang harus kusesalkan.
Hingga akupun acap berkelahi dengan akalku~ Coba membenarkan bahwa kau mungkin tak bersungguh-sungguh melukaiku~
Meski selalu kuturut semilir ke ufuk sunyi nan senyap
Lalu meraungkan pekik tangis dari palung telaga nestapa
Tanpa air mata~ Dan tanpa Suara~
Agar tak ada sesiapa melihat~ pun mendengar jeritan itu. Termasuk kau.
Dan biarlah ini menjadi risalah Tentang sebuah rahasia~
Antara aku sang pengembara~
Dan luka yang tak berdarah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis Oleh: Panglima Kumbang
Berdasarkan Label: Cerpen Anak Negeri , Kisah Inspiratif , RETORIKA BIJAK , SEKEDAR ANEKDOT
0 Cuap-Cuap
Trackback URL | Comments RSS Feed