• RUANG KELUARGA
  • Sedekah Jempol Dulu Yuk!

    Kisah Usang: "Cerita Bersambung di Negeri Kumbang"

    “Ah… Kehidupan. Huufftt…….!!”
    Semburan asap rokok Anchu’ yang meluncur dari sudut kiri bibirnya yang ditarik sedemikian rupa, mengakhiri cerita tentang pengalamannya selama di kampung. Tatapannya seketika kosong menembus keluar—menerobos bingkai jendela. Seperti mencari kedamaian di antara rerimbunan daun mangga yang tumbuh di halaman rumah yang kami kontrak.

    “Lalu apa rencanamu Chu’..?”
    Aku mencoba membuka dialog setelah beberapa saat kami larut dalam keheningan. Namun tak sepatah katapun terucap dari bibir Anchu’ untuk menjawab pertanyaanku, meskipun yakin sebenarnya dia mendengar pertanyaan yang baru saja kulesatkan padanya. Aku tahu bahwa saat ini Anchu’ sedang dirundung bingung, kemana harus menenangkan hati yang tengah gusar. Kubiarkan saja ia tenggelam dalam cenungnya yang tak kunjung menepi. Hanya kedipan demi kedipan yang kudapati di matanya. Hingga denting mangkuk mas Dikin yang kebetulan lewat menjajakan bakso dagangannya di kompleks kami, seketika membuyarkan lamunan Anchu’.

    “Bang…! Kamu tinggal di Luwuk Banggai kan…?”
    Tiba-tiba Anchu’ menoleh padaku dengan pertanyaan yang kurasa sedikit membingungkan. Karena seingatku, sejak pertama kali aku berkenalan—nama dan asal daerahlah yang langsung kuperkenalkan padanya. Dan bukan sekali dua kali kusebut Luwuk Banggai sebagai asal daerahku—sejak kami mulai bersahabat dalam dua tahun terakhir. Dan kini ia menanyakan sesuatu yang aku yakin tanpa kujawabpun Anchu’ tahu jawabannya. Tapi kali ini, seperti ada sesuatu yang tengah direncanakan oleh sahabatku ini.

    “Seperti apa di sana bang? Ceritakanlah padaku! Kamu kan belum pernah menceritakan tentang Negerimu. Tentang kampung halamanmu. Aku sangat suka dengan cerita yang melukiskan suasana pedesaan. Ayolah Kumbang! Ceritakanlah..!!”

    Anchu’ terus mendesak agar suasana di Luwuk Banggai diceritakan padanya. Meskipun sebenarnya aku bingung, dari mana harus memulai ceritaku untuk sahabat yang tengah dirundung galau ini.
    Aku tahu selama ini belum bisa membalas kebaikan Anchu’ yang telah banyak membantu. Mulai dari menyelesaikan tugas kuliahku yang tak sempat kukerjakan karena sakit, menanggung sendiri biaya kontrakan rumah yang seharusnya kami tanggung berdua—saat dompetku belum bisa diajak berdamai, sampai pada preman lorong yang dihajarnya karena mencoba memerasku di suatu malam ketika hendak ke warnet.
    Namun jika dengan menceritakan suasana desa tempatku menghabiskan masa kecil, dapat menguruk kegalauan yang menggunung dalam hatinya—maka sekalipun aku bukan satu dari puluhan pendongeng hebat, aku akan mengisahkan tanah kelahiranku untuk sahabat terhebatku ini.

    “Tak ada yang istimewa di kampungku Chu’…! Kecuali hanya sebuah desa kecil yang terpencil, namun tak sedikit menggoreskan tawa di masa kecilku.
    Tidak jauh berbeda dengan kampungmu, yang selalu menyemai rindu di hati ketika kau berada di kota Angin Mammiri ini—dalam waktu yang cukup lama tidak pulang ke kampung”.

    “Tapi bukankah kau pernah bilang, Desaku Adalah Surgaku? Aku ingin kau melukis surgamu di telingaku bang…!”
    Anchu’ tiba-tiba menukasku seakan takut jika tak kulanjutkan ceritaku itu. Tanpa ia sadari, sekalipun ia tak menyela—aku akan tetap berkisah untuknya.
    “Ya, itu benar Chu’. Desaku adalah surgaku”.
    Aku mencoba beranjak dari kursi setelah menjawab singkat ucapan Anchu’. Tulang belakangku sudah terasa kaku duduk di kursi tanpa sandaran itu—sejak hujan mulai mengguyur bumi Makassar satu jam yang lalu. Sampai ketika Anchu’ yang tiba-tiba berdiri dibelakangku tanpa kusadari, dengan membawa sebait cerita keresahan untukku—sebagai buah tangan karena baru saja tiba setelah dua hari lalu pulang ke kampungnya di Bone. Dan akhirnya aku menjadi pendengar setia tentang keresahan pada teman masa kecilnya yang kini sibuk dengan menggeluti bisnis MLM—hingga Anchu’ merasa ada yang hilang ketika berada di kampung beberapa hari lalu. Ia tak menemukan lagi cerita bersambung yang selalu menyambut kedatangannya.
    Perlahan aku memilin pinggang, meregangkan otot-otot yang mulai terasa pegal—diiringi gemertak tulang serupa reranting kering yang terinjak.
    Aku melangkah mendekati pintu, lalu melepaskan pandangan ke halaman rumah yang masih sebak oleh guyuran hujan yang baru saja berlalu. Dedaunan kembang sepatu yang tumbuh di sudut halaman masih menyisakan bulir-bulir bening yang seakan enggan jatuh ke tanah. Tak ada sesiapa yang kujumpai melintas di kompleks kami meski hujan telah reda beberapa menit yang lalu. Kecuali mas Dikin bersama dentingan mangkuknya yang tadi berhasil membuyarkan lamunan Anchu’ ketika tercenung.
    Suasana lengang seperti inilah yang selalu aku tunggu ketika ingin mengeluarkan rangkaian aksara berupa kata penyusun cerita yang membuncah ingin keluar dari kerongkongan. Sekejap kutengok Anchu’ di belakangku. Seakan tak sabar ingin mendengar cerita tentang negeri berair, Luwuk Banggai.

    “Bukit Jaya. Itulah nama desaku chu’. Tempat aku mengenal arti sebuah kebahagiaan di masa kecil. Sebuah desa terpencil yang akan menyita waktu sekira dua jam dari kota Luwuk bila kau menempuhnya dengan kendaraan beroda empat.
    Sepanjang perjalanan dari Luwuk, pandanganmu akan ditawan oleh pesisir pantai yang menjadi sajian pembuka dalam perjalananmu menuju dataran Toili. Salah satu kecamatan yang kini sedang berkembang di kabupaten Banggai bagian darat.
     Saat memasuki dataran Toili, keindahan pesisir pantai akan bertukar dengan hijaunya perbukitan, sawah yang menghampar, sungai-sungai yang berkelok, yang seakan sayang jika tak dilahap mata walau hanya sekedar untuk mengedip. Dan kau akan merasa perjalanan begitu singkat ketika sampai di desa Bukit Jaya. Sebuah desa dengan rumah tinggal milik penduduk yang tertata rapi di antara perbukitan yang dikelilingi sungai.
    Aku tidak bilang bahwa Bukit Jaya adalah desa terindah di antara puluhan desa yang ada di kecamatan Toili. Tapi seperti katamu chu’…
    Cerita bersambung yang selalu menghujam batinku dengan kerinduan, seakan tiada henti memanggilku pulang untuk melanjutkan kembali cerita yang belum selesai. Dan aku yakin, tak sekalipun kau tahu chu’… bahwa tak jarang aku berkelahi dengan rindu. Terlebih ketika langit digelayuti mendung lalu hujan perlahan turun seperti yang baru saja berlalu, membuatku serasa menonton sebuah film pada satu titik dimana pandanganku terhenti tanpa berkedip.
    Di sana aku melihat dua orang pemeran utama yang terus bertahan di tengah dinginnya guyuran hujan—dengan joran pancing tergenggam di tangan yang mulai menggigil, seraya menunggu ikan menyambar umpan dari tepian sungai.
    Hmm… itu tidak lain adalah aku dan seorang sahabat yang selalu memanggilku pergi memancing bernama Oni.
    Kami berdua sering menghabiskan waktu di tengah guyuran hujan dengan memancing. Karena cuaca hujan adalah saat yang tepat untuk berburu ikan lele di kampung kami.
    Tak peduli sepulang dari sana, hidungku terasa berat walau hanya sekedar untuk menarik nafas karena tersumbat.
    Kau tahu…? Memancing di sungai adalah satu dari sekian banyak cara kami menciptakan surga kecil. Dan itu telah menjadi kebiasaan sejak seragam putih merah menjadi seragam kebanggan kami—sampai akhirnya aku memutuskan meninggalkan Bukit Jaya, merantau  ke sini untuk sebuah toga.

    Berbeda dengan sahabatku si pembenci hujan bernama Anjeloti. Ia akan menghabiskan waktunya dengan mendengkur di balik selimut tebalnya ketika hujan mengguyur Bukit Jaya. Sekalipun tak jarang aku dan Oni mengajaknya berburu lele—yang acap kali tak diindahkannya.
    Namun ketika cuaca di langit Bukit Jaya sedang terik, maka orang pertama yang menggedor pintu rumahku saat mentari setinggi galah adalah Anjeloti. Ia selalu mengajakku berburu tawes ketika cuaca sedang cerah.
    Desaku memang dikenal dengan sungainya yang menjadi surga bagi ikan jenis tawes ini.
    Sungai Bukit Jaya tak pernah kehabisan tawesnya meski diburu setiap hari. Dan aku, Oni serta Anjeloti adalah tiga dari puluhan pemuda kampung yang tak gentar dengan dalamnya sungai Bukit Jaya.
    Bahkan pun ketika dasar sungai yang tak terlihat karena dalamnya, sedikitpun tak ada ragu untuk kami selami jika segerombolan tawes sedang terlihat bermain di sana.
    Dengan berbekal panah tradisional yang kami buat dari potongan kawat beronjong sepanjang dua hasta, lalu dipasang karet sebagai pemicu di salah satu ujungnya—dan pada ujung lainnya ditempa hingga pipih, kemudian diasah agar runcing dan membentuk mata panah, maka kami telah menjadi pemburu yang menakutkan bagi kawanan tawes penghuni sungai Bukit Jaya.
    Kami warga Bukit Jaya menyebut panah tradisional itu dengan sebutan paser.

    Selain itu, sepasang kaca mata renang menjadi hal penting yang tak boleh dilewatkan ketika hendak berburu jenis ikan yang cukup populer di Bangladesh ini. Karena kami akan berenang mengejarnya hingga ke dasar sungai, lalu melesatkan mata panah ke arah kawanan tawes—dengan sisa-sisa udara dalam paru-paru yang kami tampung sebanyak mungkin sebelum mencelupkan diri ke dalam sungai.
    Dan saat itu kau akan merasakan sebuah sensasi yang luar biasa ketika kau mulai kehabisan udara, sementara paser yang baru saja kau lesatkan mengenai salah satu tawes buruanmu—dan ia mulai meronta berusaha membebaskan diri dari pasermu yang telah menembus sisik hingga dagingnya. Disaat itulah kau akan dihadapkan dengan dua pilihan.
    Membiarkan tawesmu terlepas dari paser atau segera naik kepermukaan agar nyawa tidak terlepas dari jasadmu yang mulai kehabisan udara di dalam air. Ya, kami bermain dengan maut. Bisa dikatakan begitu.

    Dalam hal ini, aku dan Anjeloti tak sedikitpun meragukan keahlian Oni—membidik sasaran dalam gerombolan tawes yang berenang ketakutan karena merasa terancam dengan kehadiran kami. Ia memang ahli dalam hal memanah di dalam air. Mungkin ada hubungan dengan kelahirannya dihari kamis, yang menurut tetanggaku dia memang cocok atas segala hal yang berhubungan dengan air. Entahlah. Aku pun tak begitu yakin dengan pernyataan tetanggaku itu. Karena yang kami lakukan sebenarnya bukan semata berburu tawes, akan tetapi kami sedang menuliskan sebuah cerita bersambung di sungai Bukit Jaya.

    Begitu banyak cerita yang belum selesai di sana. Sehingga ketika kami mulai menghabiskan waktu di sungai saat cuaca sedang bersahabat, tak jarang Anjeloti melakukan kekonyolan-kekonyolan yang mengingatkan pada masa-masa ketika kami masih duduk di bangku sekolah dasar dulu. Menghanyutkan pakaian adalah salah satunya.
    Saat kami bertiga tengah berenang mencari persembunyian tawes, secara diam-diam ia naik ke darat meninggalkan aku dan Oni yang sedang menyelam—lalu diambilnya pakaianku dan milik Oni yang tergeletak di tepi sungai, kemudian dihanyutkannya pada aliran yang deras. Setelah itu ia lalu berteriak dengan kencangnya, “Kumbang….!! Oni…!!  Celanamu hanyut…!!” sembari menunjuk pada pakaian kami yang sengaja ia larung.
    Teriakan Anjeloti seakan menjadi sebuah aba-aba pada kami berdua untuk melakukan lomba renang. Aku dan Oni pun seketika itu langsung berenang mengejar pakaian kami yang semakin jauh terbawa arus.
    Kami berdua tak ubahnya sang juara bertahan di cabang Olahraga renang—yang tengah mempertahankan gelarnya masing-masing.
    Dan aku melihat Anjeloti tak lebih dari seorang wasit yang tak kuasa menahan gelak tawanya di tepian sungai, menyaksikan kepanikan kami yang tak ingin pulang tanpa pakaian. Ini benar-benar konyol bagiku.
     Karena hal serupa, pernah Anjeloti lakukan ketika kami masih duduk di bangku kelas enam. Saat itu aku terpaksa pulang tanpa pakaian karena tak berhasil menemukan pakaianku yang tenggelam ke dasar sungai.
    Tapi itulah Anjeloti, sahabatku yang paling bisa membawa kami ke masa silam. Ia seperti mesin waktu.

    Tidak jauh berbeda dengan sahabatku si pemburu tekukur. Albim.
    Seorang sahabat yang hanya bisa kujumpai di rumahnya ketika malam. Hari-harinya ia habiskan di tengah perkebunan kelapa sawit yang tak lain untuk berburu tekukur. Albim adalah sahabatku yang dikenal sebagai pemuda kampung pecinta burung. Khususnya burung jenis tekukur yang populasinya cukup banyak di kampungku. Tak usah heran jika suatu saat kerumahnya, kedatanganmu akan disambut oleh suara merdu para tekukur yang bersahutan. Dan di sudut kiri beranda, akan kau dapati sebuah sangkar menggantung berisi sepasang tekukur yang tidak akan berhenti berkicau ketika ada orang yang datang. Itu adalah tekukur kesayangan Albim. Ia menemukannya jatuh dari sarang saat sepasang tekukur itu masih kecil, sewaktu Albim pulang sekolah.
    Ketika itu Albim masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Ia pun membawanya pulang, dipelihara dan dirawatnya hingga sekarang.
    Sudah beberapa kali ada yang datang berniat untuk membeli dengan harga yang tak wajar untuk sepasang burung tekukur menurutku. Tapi Albim tak sedikitpun pernah tergiur dengan tawaran harga yang kupastikan sebanding dengan harga sebuah laptop. Lagi-lagi ini adalah konyol bagiku. Dan kau tahu satu hal yang lebih konyol dari itu chu’…? Albim memberi nama pada tekukur kesayangannya itu. Yang jantan diberinya nama persis dengan namaku, Kumbang. Dan betinanya Vio.
    Tak ada yang tahu rahasia di balik kedua nama itu kecuali aku, Oni, Anjeloti dan Albim. Tapi kali ini kau akan tahu.
    Sepasang tekukur itu adalah satu-satunya cara Albim untuk mereinkarnasi cerita bersambung tentang kisahku. Albim tak ingin cerita tentang Kumbang si ketua kelas enam di SDN 4 Inpres—yang terpesona pada kecantikan Vio, berakhir dengan kata bersambung namun tak ada kelanjutannya lagi.

    Vio adalah gadis yang kukenal dengan sepatu mengeluarkan cahaya merah berkelap-kelip di bagian tumitnya ketika berjalan. Ia adalah satu-satunya murid di sekolah kami yang memakai sepatu sebagus itu. Karena menurut kami sebagai bocah kampung, hanya orang-orang berduit yang akan membelikan sepatu mewah untuk anaknya sekolah.

    Vio pindah ke sekolah kami ketika ia naik ke kelas lima. Vio pindahan dari kota dan tinggal di Bukit Jaya bersama ibunya yang telah bercerai. Namun setahun kemudian nasib malang menimpa. Tepat di hari penerimaan rapor, ibunya meninggal dunia.
    Vio terpaksa kembali ke kota setelah dijemput ayahnya, untuk melanjutkan sekolah yang tersisa setahun lagi untuk bisa lanjut ke jenjang berikutnya. Karena di Bukit Jaya, Vio tak memiliki siapa-siapa selain ibunya yang dikenal sebagai wanita pekerja keras—dan pagi itu telah pergi meninggalkannya.
     Banyak hal yang aku ketahui tentang Vio. Karena aku adalah satu-satunya siswa SDN 4 inpres yang begitu dekat dengannya. Ia bukan tipe gadis yang mudah bergaul. Hanya orang-orang beruntung yang bisa dekat dengannya. Dan salah satu orang beruntung itu adalah aku, Kumbang.
    Sehingga aku merasa bahwa akulah orang paling bahagia di dunia ketika itu—karena bisa menghabiskan hari-hariku di sekolah bersama gadis yang begitu kukagumi.
    Ketika berada di sekolah, kami tak pernah terpisah. Di mana ada aku maka di situ kau akan melihat Vio bersamaku. Aku pun tak tahu apa yang istimewa dalam diriku sehingga Vio lebih memilihku dibanding yang lain untuk dijadikan teman dekatnya. Aku tak mau tahu itu, Karena yang aku tahu adalah aku bahagia saat Vio berada di sampingku. Hingga Oni, Anjeloti dan Albim menjuluki kami berdua sebagai ratu dan pangeran tanpa kerajaan.
    Namun sayang, kebahagiaan itu terasa begitu singkat ketika Vio harus kembali ke kota dan meninggalkan Bukit  Jaya pada suatu sore.
    Masih dapat kurasakan lembut jemarinya ketika ia menjabatku hendak berpamitan dan lalu berucap: “Kumbang…! Kalau lulus nanti, kamu lanjut di SMP Luwuk ya! Vio tunggu”.
    Dan itu terakhir kali aku melihat dan mendengar suara Vio, gadis berlesung pipit yang telah memberiku kebahagiaan singkat.
    Langit sore itu serasa bagai runtuh dan meremukkan tulang-tulangku ketika mobil yang membawanya perlahan hilang dari pandangan. Kedua kaki seperti tak kuasa menopang tubuhku yang nampak utuh dari luar, namun di dalamnya telah remuk tak berbentuk diluluh lantakkan oleh rasa kehilangan.

    Vio adalah sebuah cerita bersambung yang direinkarnasi dalam sepasang tekukur milik Albim. Karena sejak perpisahan sore itu, hingga detik ini aku sama sekali tak pernah tahu bagaimana kabar Vio. Bahkan aku pun tak tahu dimana rimbanya kini. Gadis sepatu berlampu yang begitu kukagumi.
    Aku tak menyalahkan kedua orang tua yang tak menyekolahkanku di kota, meski pernah kumemohon. Karena aku pun memahami keadaan kami di desa, yang hanya bergantung pada sejengkal tanah teroka untuk sekedar bertahan hidup.
    Alasan itu pula yang membuat Albim tak melanjutkan sekolahnya setelah kami lulus dari SDN 4 inpres.
    Sementara Oni dan Anjeloti melanjutkan sekolahnya pada Pondok Pesantren di desa seberang, yang menerima santri dari keluarga yang tergolong kurang mampu seperti kami.
    Karena yang aku tahu mereka berdua begitu mengagumi sosok seorang Da’i yang namanya begitu hangat diperbincangkan hingga ke pelosok desa ketika itu. Penceramah yang dikenal dengan julukan Da’i sejuta umat, K.H Zainuddin MZ. Ya, Oni dan Anjeloti bercita-cita menjadi seorang penceramah kondang.
    Dan aku sendiri melanjutkan sekolah di SMP terbuka pada salah satu desa yang berjiran dengan Bukit Jaya. Desa yang berjarak sekira tiga puluh menit berjalan kaki dari gubuk reot tempatku tinggal bersama kedua orang tua.
     Meski demikian persahabatan kami tidak terusik sedikitpun oleh perbedaan itu. Justru semakin bertambah erat. Ditambah lagi sejak kedatangan Malda dan Nalda di Bukit Jaya, si gadis kembar yang gemar berpetualang.
    Kelak akan kuceritakan padamu chu. Tentang gadis kembar sahabat baru kami ini, yang lebih memilih tinggal di Bukit Jaya dibanding pulau Salakan yang menjanjikan kesejahteraan dengan rumput lautnya”.

    Aku menghentikan ceritaku sejenak. Seketika ingatanku tertawan oleh selembar foto yang pernah kuabadikan sehari sebelum aku meninggalkan Bukit Jaya untuk mengembara ke kota daeng.
    Foto yang masih tersimpan rapi di dompetku—yang sesekali kupandangi ketika hati tak kuasa melawan amukan rindu akan kampung halaman. Perlahan kukeluarkan foto itu dari dompet lusuhku lalu kuperlihatkan pada Anchu’yang sejak tadi hanya membisu menyimak ceritaku. Entah apa yang ada dalam pikirannya kini. Namun dari sorot matanya aku menemukan selaksa tanda yang menyiratkan sebuah rasa penasaran. Ditatapnya foto itu tajam.
    “Ini kampungmu bang?”
    Pertanyaan yang kemudian ia lontarkan tanpa peduli pada tatapannya yang terus tertawan oleh pemandangan yang ada dalam foto ukuran dompet itu.
    “iya chu, itu kampungku. Dan lelaki yang ada dalam foto itu, adikku. Hanya foto itu satu-satunya pengobat pilu ketika hati tak bisa kuajak berdamai karena rindu akan kampung.
    Foto itu aku abadikan pada hari terakhir di Bukit Jaya sebelum ke sini. Dan yang ada dalam foto itu adalah salah satu dari sekian banyak tempatku membuat cerita bersambung bersama sahabat-sahabatku.
    Sungai itulah tempat kami bermain menghabiskan waktu sepulang sekolah—ketika kami masih berseragam putih merah dulu.

    Serasa masih hangat dalam ingatan ketika kami saling berkejaran di balik teduhnya pohon cemara yang terus berbisik diterpa semilir, bergemul dengan lembutnya pasir yang menghampar hingga ke hulu, memecah sunyi tepian sungai dengan gelak tawa ketika salah satu dari kami menjadi korban kejahilan Anjeloti, membuat perlombaan menyelam dengan mengambil batu seukuran mangkuk di dasar sungai yang membiru—yang kami lempar dari tepian, hingga melompat ke dalam sungai—dari jembatan yang tingginya melebihi satu pohon kelapa. Dan hari akan terasa begitu singkat ketika kemuning senja yang merias wajah langit Bukit Jaya memanggil kami untuk pulang. Karena mentari telah sembunyikan terangnya di balik bukit, pertanda bahwa ia akan segera kembali pada peraduannya. Hari akan berganti dengan malam, dan kami bocah-bocah dekil pelarung nestapa harus pulang.


    Kini semua itu telah menjadi sebuah cerita usang yang terabadikan pada lembaran kisah silam yang kurindukan. Sebuah cerita yang di dalamnya Hanya ada aku, mereka, dan sebuah kebahagiaan. Dan kuharap kau akan paham akan arti sebuah jembatan.
    Ya, kau bisa lihat sebuah jembatan di foto itu.
     Yang akhirnya mengajarkanku, bahwa setiap kebahagiaan yang kau imipikan—maka butuh jembatan untuk mendapatkannya.

    Jembatan itu, yang juga telah menjadi saksi bisu tentang kekejaman seorang perempuan dari seberang kepada seorang pemuda yang dituduh bersandiwara dalam sebuah drama—saat terkapar tak berdaya karena sebuah pengorbanan kecil untuk gadis yang diagungkannya. Dan kau tahu siapa pemuda itu chu’.
     Kelak saat kita sudah tidak bersama lagi dan aku belum sempat menceritakannya padamu, semoga kau menemukan jejak penaku yang menggurat pada lembaran lusuh nan berdebu—atau mungkin pada buku yang berjudul sepilu merindu. Karena aku menulisnya. Dan aku berharap kau tidak menghujamku dengan tanya yang berpaut, yang berinang pada mengapa.., ataupun siapa. Kau tahu jawabannya chu’. Karena itu aku. Ya, itu aku. Ah…kehidupan.

    Sebentar lagi magrib chu’…! sebaiknya kita mandi lalu ke masjid. Aku rasa ceritaku sudah terlalu panjang. Dan Bukit Jaya bukan negeri istimewa kawan..!!”

    Sembari tersenyum, aku pun berlalu setelah menyambar handuk yang menggantung di bingkai jendela. Tak kuacuhkan Anchu’ yang semakin tak kuasa membebaskan tatapannya dari belenggu secarik foto usang di tangannya. Hanya tercenung… larut… dan… SEKIAN.
    =========================================================================
    Ditulis Oleh: Panglima Kumbang (KarenaItuAku)

    Berdasarkan Label: , ,

    Napak Tilas

    iNuPEDIA merupakan warung online yang informatif. Karena selain menjajakan produk tertentu, iNuPEDIA juga menyajikan ragam informasi bermanfaat yang berasal dari sumber terpercaya dan akurat. Melalui media ini... >> Baca Lanjutannya.

    Jangan Sungkan Bercuap-cuap...

    Buatlah Aku Tau Atas Apa Yang Kau Tau. Dan Pun Sebaliknya.

    JANGAN SUNGKAN

    Menu :

    Ikuti iNuPEDIA = Anda Dapat 1 Follower